1.
Stoisisme
Stoisisme merupakan sebuah bentuk materialisme,
panteisme, dan fatalisme. Aliran stoisisme langsung berlawanan dengan
hedonismenya Epicurus. Anthisthenes, sebagaimana Arristipus adalah murid
socrates. Anthisthenes melebih-lebihkan doktrin gurunya ke arah yang
berlawanan. Anthisthenes mengajarkan bahwa kebajikan tidak hanya jalan ke arah
kebahagiaan, tetapi kebajikan adalah kebaikan. Anthisthenes juga mengatakan
bahwa tabiat buruk adalah satu-satunya kejahatan, dan hal lainnya adalah
indiferen. Kesesatan paling besar adalah berpendapat bahwa kesenangan itu
sesuatu yang baik. Hakikat kebajikan adalah self-sufficiency,
merdeka, tidak bergantung kepada apa dan siapa saja.
Pengikut-pengikut aliran stoisisme memandang hina
kekayaan, kesenangan, kegembiraan, keluarga, masyarakat, dan kebudayaan.
Pengikut aliran stoisisme terkadang juga memandang hina tata krama dan sopan
santun umum. Kaum stoisis menganggap
dunia itu terdiri dari badan dunia, materi kasar yang nampak pada pancaindera
kita, jiwa dunia, materi halus yang merembus sebagai angin melintas dunia,
menggerakkan dunia, dan membuatnya laksana bintang yang sangat besar. Badan dan
jiwa manusia sekadar bagian terbatas dari badan dunia dan jiwa dunia. Dunia
sendiri adalah Tuhan atau alam, keduannya sama saja. Alam berkembang sesuai
dengan hukum yang tidak dapat dibelokkan.
Kebajikan adalah satu-satunya yang baik, ini bukan jalan
ke arah suatu tujuan, melainkan tujuan itu sendiri. Orang yang berkebajikan
tetap tegak berdiri meski dunia berantakan di kanan-kirinya. Menyadari akan
kesamaannya dengan alam, ia adalah di luar yang baik dan buruk. Kebajikan tidak
mengenal taraf-taraf dan siapa yang mempunyai satu kebajikan. Mengejar kesucian
adalah kebijakan, sebagai kepantasan kita kebahagian akan bisa kita miliki
setiap saat. Kebajikan itu lebih tinggi dari kebahagiaan. Kebahagiaan hanya
dapat diterima sebagai suatu akibat dan tidak sebagai suatu yang dicari.
Kebahagiaan menurut stoisisme yang ada dalam roman Sitti
Nurbaya karya Marah Rusli itu ketika Sutan Mahmud ayah dari Samsulbahri ini
meminjam uang kepada Datuk Meringgih. Sutan Mahmud lebih baik meminjam uang
kepada Datuk Meringgih daripada meminjam uang kepada sahabatnya Baginda
Sulaiman atau ayah dari Sitti Nurbaya. Sultan Mahmud merasa sungkan jika dia
meminjam uang kepada Baginda Sulaiman, karena Baginda Sulaiman tidak pernah mau
menerimanya jika Sutan Mahmud mengganti uang yang dipinjamnya itu. Baginda
Sulaiman merasa bahagia karena dia tidak merepotkan sahabatnya. Berikut bukti
kutipan tersebut.
Waktu
itu kelihatan Sutan Mahmud menarik napasnya, sebagai terlepas daripada suatu
bahaya, lalu masuk ke dalam rumahnya, sambil berkata, “kalau tidak dapat
kupinjam padanya, tentulah aku akan terpaksa menjual sawah pusaka. Untung
benar! Kepada Baginda Sulaiman, tak hendak kupinta tolong. Segan aku,
kalau-kalau ia tak mau dibayar lagi.” (halaman 17)
Datuk Meringgih merupakan seorang saudagar kaya yang
termahsyur di Padang. Dia memiliki badan yang kurus tinggi, punggungnya bungkuk
udang, dadanya cekung, kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka
serta bersulah. Rambutnya yang tinggal sedikit di sekeliling kepalanya itu,
telah putih seperti kapas di busur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya
beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya melengkung ke
bawah. Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil tetapi tajam, hidungnya
bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar seperti
gigi tupai. Telinganya besar seperti telinga gajah, kulit mukanya
berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.
Datuk Meringgih ini memandang kebahagiaan dengan kekayaan
yang dia miliki. Datuk Meringgih menganggap uang merupakan segalanya. Dia dapat
memiliki apa saja yang diinginkan termasuk untuk memperoleh istri, itu semua
dia lakukan dengan menggunakan uang yang dimilikinya. Datuk Meringgih juga
merupakan seseorang yang kikir, walaupun memiliki banyak uang dia tidak mau memperbaiki rumahnya yang sudah
jelek itu. Rumah tempat Datuk Meringgih tinggal itu sudah sangat jelek,
rumahnya hanya terbuat dari kayu dan atapnya dari seng. Rumah itu sudah
terlihat tidak terawat, karena semua barang yang ada di dalamnya telah tua
kotor dan tidak beraturan. Menurut Datuk Meringgih itu kebahagian yang
dirasakannya, lebih bahagia memiliki banyak uang dari pada harus memperbaiki
rumahnya itu. Berikut bukti kutipan tersebut.
Di
kampung Ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu beratap seng. Letaknya
di pinggir jauh dari jalan besar, dalam kebun yang luas, tersembunyi di bawah
pohon-pohon kayu yang rindang. Jika ditilik dari alat perkakas rumah ini dan
susunannya, nyatalah rumah ini suatu rumah yang tiada dipelihara benar-benar.
Karena sekalian yang ada di dalamnya telah tua kotor dan tempatnya tiada
teratur dengan baik. (halaman 83)
Kebahagiaan lain juga dialami oleh Datuk Meringgih, di mana
dia memperoleh kebahagiaan itu dengan menggunakan harta yang dimilikinya. Datuk
Meringgih mencari kebahagiaan dengan cara menikahi gadis-gadis kampung, sudah
banyak wanita yang menjadi korbannya. Datuk Meringgih dapat menikahi
gadis-gadis kampung itu dengan cara meminjamkan uang atau harta yang
dimilikinya. Dia memberikan tempo atau batas pembayaran uangnya. Uang yang dipinjam
orang itu harus dibayar tepat waktu sesuai dengan perjanjian, seandainya orang
yang meminjam uang itu tidak dapat melunasi hutangnya, maka anak gadis orang
itu harus menikah dengannya. Anak gadis itu menolak menikah dengannya, maka
orang tersebut akan di penjara dan semua barang yang dimiliki orang itu akan
diambilnya.
Kejadian tersebut dialami oleh Baginda Sulaiman yang
memiliki banyak hutang kepada Datuk Meringgih. Hutang yang begitu banyak
menyebabkan Baginda Sulaiman tidak mampu melunasinya. Datuk Meringgih akhirnya
meminta Baginda Sulaiman memberikan anaknya Sitti Nurbaya agar menikah
dengannya. Baginda Sulaiman menolak permintaan Datuk Meringgih tersebut. Dia
lebih baik di penjara daripada mengorbankan anaknya untuk menikah dengan Datuk
Meringgih yang sudah tua renta itu. Sitti Nurbaya tidak tega melihat ayahnya di
penjara akhirnya dia muncul dari dalam kamarnya dan berkata “Jangan penjarakan
ayahku, biarlah aku menikah dengan Datuk Meringgih.” Kebahagiaan Datuk Meringgih
itu adalah ketika dia dapat menikahi Sitti Nurbaya. Berikut bukti kutipan
tersebut.
“Tatkala
kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai penjahat yang bersalah
besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku, dan dengan tiada kuketahui,
keluarlah aku dan berteriak, “jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi Istri
Datuk Meringgih.” (halaman 119)
Mendengar
perkataanku itu tersenyumlah Datuk Meringgih dengan senyum pada penglihatanku,
sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah
sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan kepada matanya, sehingga terpaksa
aku menutup mataku. (halaman 119)
Sutan Hamzah merupakan saudara dari Rubiah. Sutan Hamzah
menganggap hina sebuah keluarga seperti dijalaskan dalam aliran stoisisme.
Sutan Hamzah menganggap keluarga yang dia miliki itu tidaklah penting, karena
dia menganggap sesuatu yang penting dalam hidupnya adalah kekayaan dan memiliki
banyak istri. Sutan Hamzah memiliki berpuluh orang istri dan beratus-ratus
anak. Dia tidak mau mengeluarkan sedikitpun uang yang dia miliki untuk istri
dan anaknya belanja, karena dia meminta agar orang tua dari istrinya yang
memberikan uang untuk belanja dan kebutuhan mereka. Sutan Hamzah akan
menceraikan istrinya jika orang tua dari istrinya tersebut tidak mau memberikan
uang kepadanya dan istrinya itu. Sutan Hamzah tidak mau mengeluarkan uangnya
sedikitpun untuk keperluannya. Dia lebih memilih hartanya dari pada memilih
istrinya tersebut. Sutan Hamzah memilih
menceraikan istrinya tersebut dan mencari wanita lain yang mau menjadi
istrinya, tetapi wanita yang menjadi istrinya haruslah mau membiayai semua
kebutuhannya tersebut. Berikut bukti kutipan tersebut.
“Apa
yang hamba susahkan?” kata Sutan Hamzah pula. “Biarpun berpuluh istri hamba,
beratus anak hamba, belanja tak perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab
istri hamba ada orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau tiada sudi lagi
memelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini perempuan lain, yang
mampu; tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah
kocek hamba. (halaman 58)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar