RAGAM BAHASA
3.1 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda
dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut
bisa berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi
sosiolinguistik lain, termasuk variasi bahasa baku itu sendiri. Variasi di
tingkat leksikon, seperti slang dan argot, sering dianggap terkait dengan gaya
atau tingkat formalitas tertentu, meskipun penggunaannya kadang juga dianggap
sebagai suatu variasi atau ragam tersendiri.
Fungsi bahasa dalam masyarakat antara lain:
1.
Alat untuk
berkomunikasi dengan sesama manusia.
2.
Alat untuk
bekerja sama dengan sesama manusia.
3.
Alat
mengidentifikasi diri.
Setelah mengetahui fungsi dan kedudukan Bahasa
Indonesia dalam berbagai sudut pandang, kita pun perlu mengetahui ragam atau
variasi Bahasa Indonesia. Keragaman bahasa ini disebabkan karena adanya
keragaman situasi, kondisi, waktu, dan hal-hal lain yang memerlukan penyesuaian
bahasa. Keanekaragaman penggunaan bahasa Indonesia itulah yang dinamakan ragam
bahasa. Ragam ini ada beberapa macam, yaitu
a.
Ragam Bahasa
Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap dengan fonem
sebagai unsur dasar. Ragam ini berhubungan dengan tata bahasa, kosakata, dan
lafal. Pengguna bahasa lisan (pembicara) dapat memanfaatkan tinggi rendah suara
atau tekanan, air muka (mimik), gerak tangan atau isyarat untuk menyampaikan
maksud pembicaraannya. Yang termasuk ragam ini antara lain ragam percakapan
ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam panggung.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan adalah :
a. Memerlukan kehadiran orang lain sebagai lawan bicara
b. Unsur gramatikal tidak terlihat atau dinyatakan secara lengkap
c. Terikat ruang dan waktu
d. Dipebgaruhi oleh tinggi rendahnya suara (intonasi)
Kelebihan ragam bahasa lisan :
a. Penggunaannya dapat disesuaikan dengan situasi
b. Lebih efisien
c. Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekanan
suara dan
gerak anggota badan untuk lebih memperjelas
maksud pembicaraannya kepada
pendengar.
d. Pembicara dapat segera mengetahui reaksi pendengar terhadap apa yang
dibicarakannya.
Kelemahan ragam bahasa lisan :
a. Berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase
sederhana.
b. Pembicara seringkali mengulang beberapa kalimat.
c. Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan dengan baik, terlebih orang
yang telah
terbisa menggunakan bahasa daerah setempat
dalam berbahasa lisan.
d. Aturan bahasa yang dilakukan tidak formal.
b.
Ragam Bahasa
Tulis
Merupakan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai
unsur dasarnya. Ragam ini berhubungan dengan tata cara penulisan dan kosakata
yang menuntut adanya kelengkapan unsur kata seperti bentuk kata ataupun susunan
kalimat, pilihan kata yang tepat, penggunaan ejaan dan tanda baca yang benar.
Yang termasuk ragam tulis adalah ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan,
dan ragam surat-menyurat
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
a. Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
b. Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap.
c. Tidak terikat ruang dan waktu.
d. Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Kelebihan ragam bahasa tulis :
a. Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau
materi yang
menarik dan menyenangkan.
b. Biasanya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c. Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d. Dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, memberikan informasi yang dapat
menambah pengetahuan pembaca.
Kelemahan ragam bahasa tulis :
a. Tidak ada alat atau sarana untuk memperjelas pengertian bahasa lisan,
sehingga tulisan
harus disusun dengan sebaik-baiknya.
b. Tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih dan jujur, jika harus
mengikuti
kaidah-kaidah bahasa yang dianggap
cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.
Ragam bahasa lain adalah ragam bahasa fungsional
yaitu ragam bahasa yang dihubungkan dengan profesi , lembaga, lingkungan kerja
atau kegiatan tertentu lainnya serta dikaitkan juga dengan keresmian keadaan
pengunaannya. Ada beberapa ragam bahasa fungsional, antara lain:
1. Ragam Bahasa Ilmiah
2. Ragam Bahasa Bisnis
3. Ragam Bahasa Sastra
4. Ragam Bahasa Filosof
5. Ragam Bahasa Jurnalistik
3.2 Ragam Bahasa Ilmiah
Ragam ilmiah ialah ragam bahasa
keilmuan, yaitu corak dan ciri bahasa yang digunakan dalam penulisan karya
ilmiah. Ragam bahasa ilmiah harus dapat menjadi wahana pemikiran
ilmiah yang tertuang dalam teks karya ilmiah. Pengertian ragam bahasa ilmiah
dan karakteristik ragam ilmiah dalam bahasa Indonesia diuraikan berikut ini.
1.
Pengertian
Ragam Ilmiah
Ilmiah itu merupakan kualitas
dari tulisan yang membahas persoalan-persoalan dalam bahasa Indonesia bidang
ilmu tertentu. Kualitas keilmuan itu didukung juga oleh pemakaian bahasa dalam
ragam ilmiah. Jadi, ragam bahasa ilmiah itu mempunyai sumbangan yang tidak
kecil terhadap kualitas tulisan ilmiah. Ragam ilmiah merupakan pemakaian bahasa
yang mewadahi dan mencerminkan sifat keilmuan dari karya ilmiah. Sebagai wadah,
ragam ilmiah harus menjadi ungkapan yang tepat bagi kerumitan (sofistifikasi)
pemikiran dalam karya ilmiah. Dari pemakaian ragam itu juga bukan saja
tercermin sikap ilmiah, melainkan juga kehati-hatian, kecendekiaan,
kecermatan, ke bijaksanaan (wisdom), dan kecerdasan
dari penulisnya.
Bahasa Indonesia ragam ilmiah
merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan
karya ilmiah. Sebagai bahasa yang digunakan untuk memaparkan fakta, konsep,
prinsip, teori atau gabungan dari keempatnya, bahasa Indonesia diharapkan dapat
menjadi media yang efektif untuk komunikasi ilmiah, baik secara tertulis maupun
lisan.
2.
Karakteristik
Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
Karakteristik ragam bahasa
ilmiah ialah: (1) mencerminkan sikap ilmiah, (2) transparan, (3) lugas, (4)
menggunakan paparan (eksposisi) sebagai bentuk karangan yang utama, (5)
membatasi pemakaian majas (figures of speech), (6) penulis menyebut diri
sendiri sebagai orang ketiga (penulis, peneliti), (7) sering menggunakan
definisi, klasifikasi, dan analisis, (8) bahasanya ringkas tetapi padat, (9)
menggunakan tata cara penulisan, dan format karya ilmiah secara konsisten
(misalnya dalam merujuk sumber dan menyusun daftar pustaka), (10) dan
menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sikap ilmiah yang harus
tercermin dalam ragam ilmiah ialah sikap objektif, jujur, hati-hati, dan saksam.
Ragam ilmiah bersifat cendekia
(intelektual), artinya bahasa Indonesia ragam ilmiah itu dapat digunakan
secara tepat untuk mengungkapkan hasil berpikir logis, yaitu mampu membentuk
pernyataan yang tepat dan saksama.
Ragam ilmiah bersifat transparan dalam arti kata-kata itu
membawa pembaca langsung ke maknanya; kata-kata yang digunakan hendaknya tidak
bermakna ganda (ambigu). Kata-kata yang dipilih hendaknya kata-kata yang
denotatif bukan konotatif.
Bahasa ragam ilmiah bersifat lugas, dalam arti menggambarkan
keadaan atau fakta sebagaimana adanya. Ragam ilmiah tidak berbunga-bunga
penuh ornamen seperti ragam bahasa sastra. Ragam ilmiah tidak berputar-putar
dalam menuju ke satu tujuan, bahasa ragam ilmiah langsung menuju ke sasaran,
langsung ke pokok masalah.
Bentuk karangan utama
yang digunakan dalam tulisan ilmiah ialah paparan atau eksposisi, dan dapat
diselingi deskripsi, argumentasi, narasi. Dalam tulisan ilmiah ada
sesuatu yang perlu dideskripsikan, kadang diceritakan, atau beberapa definisi
diperbandingkan dan dibahas secara lebih tepat. Seperti yang sudah disebutkan,
dalam paparan banyak digunakan definisi, klasifikasi atau analisis.
Berbeda dengan tulisan ragam
sastra, dalam ragam ilmiah pemakaian majas dibatasi. Majas itu sebenarnya juga
menjelaskan, tetapi lebih mengacu pada imajinasi daripada realitas. Dalam ragam
sastra, majas dapat menumbuhkan “keremang-remangan” suatu hal yang kadang
memang diupayakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi. Mengapa majas hanya
dibatasi dan tidak disingkirkan? Karena dalam ragam bahasa ilmiah terdapat kata
atau istilah yang sebenarnya semula berupa majas, misalnya mewatasi,
melahirkan, membuahkan.
Dalam ragam ilmiah, penyebutan
penulis bukan aku atau saya melainkan penulis atau dalam
hal laporan hasil penelitian, peneliti, atau kalimat-kalimatnya
menggunakan bentuk pasif, sehingga penyebutan penulis dapat dilesapkan.
Ragam bahasa ilmiah bersifat ringkas
berpusat pada pokok permasalahan. Kalimat-kalimatnya harus hemat, tidak
terdapat kata-kata yang mubazir. Namun kalimat-kalimatnya harus lengkap,
bukan penggalan kalimat.
Ragam bahasa ilmiah harus
mengikuti tata tulis karya ilmiah yang standar. Misalnya penggunaan salah satu
sistem penulisan rujukan atau catatan kaki diterapkan secara konsisten,
demikian pula dalam menyusun daftar pustaka.
Pemakaian bahasa dalam tulisan
ilmiah termasuk pemakaian bahasa dalam situasi resmi. Pemilihan kata (diksi) harus
memenuhi beberapa prinsip, yaitu ketepatan, kebakuan, keindonesiaan, dan
kelaziman. Dalam prinsip ketepatan, kata yang dipilih secara tepat sesuai
dengan yang dimaksudkan. Prinsip kebakuan menekankan pemakaian kata baku.
Prinsip keindonesiaan menyarankan penggunaan kata-kata bahasa Indonesia.
Prinsip kelaziman, menyarankan penggunaan kata-kata yang sudah umum.
3.3 Ragam Bahasa Bisnis
Ragam bahas bisnis adalah ragam bahasa yang
digunakan dalam berbisnis, yang biasa digunakan oleh para pebisnis dalam menjalankan
bisnisnya. Ciri-ciri ragam bahasa bisnis antara lain:
1. Menggunakan bahasa yang komunikatif.
2. Bahasanya cenderung resmi.
3. Terikat ruang dan waktu.
4. Membutuhkan adanya orang lain.
3.4 Ragam Bahasa Sastra
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis yang
jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan,
seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya
sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis
dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah
manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra
dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya
sendiri.
Sastra
bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa
yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang menentukan adalah
kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan
maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang
lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra selalu melibatkan
pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi
kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat
memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan
membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah
diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita
terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah
kemungkinan besar muncul kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989)
sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh
wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan
cara yang khusus.
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta manusia
dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif,
disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
Ragam
bahasa sastra adalah ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak efektif.
Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna konotasi
sering dipakai dalam ragam bahasa sastra. Ciri-ciri ragam bahasa sastra antara
lain:
1.
Menggunakan kalimat yang tidak efektif.
2.
Menggunakan kata-kata yang tidak baku.
3.
Adanya rangkaian kata yang bermakna
konotasi.
3.5 Ragam Bahasa Filosof
Filsafat bahasa ialah teori
tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf, sementara mereka itu
dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah usaha
para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman terhadap
bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman
ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal lain, misalnya fisika,
matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu
diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika
dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat
pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan
meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat
membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat
bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan
tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa
menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir
kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau
hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan
konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan
sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang
hakikat pengetahuan konseptual itu.
Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa.
Bahasa seharusnya diperbaiki karena kegiatan keilmuan para filsuf boleh
dikatakan tergantung kepada pemakaian bahasa. Di lain pihak, telah banyak
keluhan dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang mereka pakai
mengandung banyak kelemahan.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud
dalam beberapa bentuk. Sebagai misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa
bahasa itu tidak cocok untuk dipakai sebagai dasar formulasi kebenaran yang
fundamental. Menurut pendapat mereka, orang akan dapat memahami kebenaran hanya
kalau mereka itu menyatu dengan kenyataan dan tanpa bahasa. Paling-paling
bahasa hanya mampu menggambarkan kebenaran itu dengan gambaran yang bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda
terhadap bahasa ini. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu
masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi,
dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang
salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang baik dan yang
benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka
lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan
Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon scholastik.
Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan
filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf menggunakan terminologi
(istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai
sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat,
kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu
samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang
mandiri atau suka tergantung pada konteks (context dependent) dan sering
menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-orang seperti
Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan
manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu perlu
diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat
dikoreksi.
3.5.1 Hubungan Bahasa dengan Filsafat
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk
mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi, bahasa pun mampu mengubah
seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting
dari kehidupan manusia. Kearifan Melayu mengatakan : “Bahasa adalah cermin
budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa adalah sine qua
non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.
Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah
bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa
mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan
bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran kefilsafatan. Louis
O. Katsooff berpendapat bahwa suatu
system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu
bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya
penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan
beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena bahasa pada
hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama
adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di
alam semesta ini.
Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia
symbol-simbol tersebut. Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan
filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus
merupakan hukum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak
kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara
langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat
akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi
bagaimanapun. Bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek
penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan
dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu
kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna,
sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
3.5.2 Fungsi
Filsafat terhadap Bahasa
Kerja
filsafat adalah dimulai dari suatu peranyataan kritis tentang sesuatu realitas
yang tidak hanya mempertanyakan tentang dunia yang konkrit, tetapi juga
sebagian realitas yang oleh sebagian orang dianggap tabu untuk dipertanyakan.
Bagi filsafat seluruh realitas adalah layak untuk dipertanyakan. Bagi filsafat
pertanyaan itu bukanlah sekedar bertanya, tapi diharapkan berupa pertanyaan yang
kritis tentang apa saja.
“Filsafat
harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan harus ikut
mencari jawaban yang benar”, kata Franz Magnis-Suseno. Atau seperti kata Robert
Spaemann : ”Yang baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan
harus dalam jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo dulu,
dari Socrates sampai Ibnu Rusd dari Andalusia.
Berikut
ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau
kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannnya, antara lain :
1.
Masalah “bahasa’ pertama dan mendasar
adalah apa hakikat bahasa itu ? mengapa bahasa itu harus ada pada manusia dan
merupakan cirri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu, dan bagaimana
hubungan antara “bahasa” dan “manusia” itu.
2.
Apakah perbedaan utama antara “bahasa”
manusia dan bahasa di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau bahasa
makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3.
Apa hubungan antara bahasa dan akal, dan
juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati, intuisi dan fenomena batin
manusia lainnya.
Problem-problem
tersebut, merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika kebahasaan, yang
dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang dalam dan sistematis
atau analisis filsafat. Agar ada sedikit gambaran, berikut ini akan diuraikan
secara singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa dan filsafat. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Filsafat, dalam arti analisis merupakan
salah satu metode yang digunakan oleh para filosof dan ahli filsafat dalam
memecahkan, seperti mengenai apakah hakikat bahasa itu, atau pernyataan dan
ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat dikategorikan ungkapan bahasa
bermakna dan tidak bermakna.
2.
Filsafat, dalam arti pandangan atau
aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat idealisme,
rasionalisme, realisme, filsafat analitif, Neo-Posotovisme, strukturalisme,
posmodernisme, dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa
dalam mengembangkan teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi
dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang
telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut.
Sebut saja “Sausurian”, adalah suatu aliran linguistic dan ilmu sastra yang
dikembangkan di atas bangunan filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure.
3.
Filsafat, juga berfungsi member arah
agar teorai kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa, yang
berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, memiliki
relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
4.
Filsafat, termasuk juga filsafat bahasa,
juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan
teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau ilmu sastra. Suatu
teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat tertentu, akan
menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini akan sangat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.
3.5.3 Aturan-Aturan Terpokok Suatu Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan
terdiri dari seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari
istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-istilah lain dalam maknanya
yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh sang filsuf
(misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat
istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat semantik. Aturan-aturan ini
menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang
ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini
menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya,
ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata
kerja ‘adalah’, dan suatu kata sifat, maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
2.
Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk
oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata
benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan
ciri-ciri.
3.
Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu
pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan
batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana
seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya
sungguh-sungguh merasa dingin.
Perangkat aturan kedua bersifat pragmatis.
Aturan-aturan ini menerangkan latar istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan
yang bersifat kejiwaan, emosional, geografik, dan sebagainya. Misalnya nama
‘Tuhan’ senantiasa dipakai dengan perasaan hormat.
Perangkat aturan ketiga bersifat sintaksis.
Aturan-aturan ini menerangkan cara-cara menyimpulkan ungkapan-ungkapan
berdasarkan ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan perubahan bentuk.
Misalnya, jika (1) ‘p’ dan (2) ‘p’ meliputi ‘q’, maka (3) dapatlah disimpulkan
‘q’. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi bukti,
dan sebagainya.
3.6 Ragam Bahasa Jurnalistik
3.6.1
Pengertian Bahasa Jurnalistik
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan
wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language
of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang
digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur)
di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak),
dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
3.6.1 Ciri Utama Bahasa Jurnalistik
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat
dibedakan pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik
media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa
jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya,
kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri
yang sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio, bahasa
jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet. Ada beberapa ciri-ciri
utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala
tersebut.
1.
Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata
atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang
sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun
karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit,
yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa
jurnalistik.
2.
Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah, tidak
bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat
berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat
kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan
beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh
bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3.
Padat
Menurut. Patmono S.K., redaktur senior Sinar Harapan
dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik
berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat
banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti
terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat
yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang
padat mengandung lebih banyak informasi.
4.
Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus
menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan
khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi. Kata yang lugas selalu
menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain
terhadap arti dan makna kata tersebut.
5.
Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur
dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna
yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang
tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna
itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna
hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti:
jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah
subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6.
Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan,
jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif
seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat
menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air
yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar
biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair
keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata
dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan
suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam
bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik dan sejauh mungkin
menghindari prasangka buruk. Menurut orang komunikasi, jernih berarti
senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak
pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan
dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan
pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun
tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan
sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan
rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan
pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan
pimpinan partai politik.
7.
Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya
mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca,
serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik
berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Wartawan sering juga disebut
seniman. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau
bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan
dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan
dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak
mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk
kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap
durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan
nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8.
Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa
jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak
mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan
pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa
Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional. Bahasa jurnalistik
memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan
pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka
kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden
dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik
menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,
karikatur, atau teks foto. Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap
individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum schingga orang itu
tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan
sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan
diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih
dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan
kesatuan bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia
memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis
makan, kambing makan.
9.
Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa
pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di
mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa.
Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua
lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu
rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat. Kebalikan dari populis adalah elitis.
Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir
kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10.
Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata,
istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak
bertentangan dengan akal sehat. Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan
sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh,
apakah logis kalau dalam berita dikatakan: “jumlah korban tewas dalam musibah
longsor dan banjir bandang itu 225 orang, namun sampai berita ini diturunkan
belum juga melapor.” Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana
mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
11.
Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun
yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata
bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata
bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan
istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar
pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok
masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak
gramatikal: “Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan
menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan.” Contoh bahasa
jumalistik baku atau gramatikal: “Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran
pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke
depan.”
12.
Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam
percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang
digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar.
Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak
yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang
hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah
struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin,
diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13.
Menghindari Kata dan Istilah Asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca
atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan
didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing,
selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan. Menurut teori
komunikasi, khalayak media massa terdiri atas berbagai suku bangsa, latar
belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal.
Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada
berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan
sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri,
juga mencelakakan orang lain.
14.
Pilihan Kata (diksi) yang Tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas.
Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh
keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat
dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada
khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir
sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan
kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan
kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa
menimbulkan akibat fatal.
15.
Mengutamakan Kalimat Aktif
Kalimat akif lebih mudah dipahami dan lebih disukai
oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh, “Presiden
mengatakan, bukan dikatakan oleh presiden. Contoh lain, “pencuri
mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya
perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri.” Bahasa jurnalistik
harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya. Kalimat aktif lebih memudahkan
pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan
pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16.
Menghindari Kata atau Istilah Teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus
sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi
sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan
menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau
istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang
relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa
tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga
mengandung unsur pemerkosaan. Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam
dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak
akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk
dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah
dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan
istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan,
maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda
kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak
memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii
pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki
editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita
serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola
penerbitan pers yang berkualitas.
17.
Tunduk kepada Kaidah Etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik
(to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita,
laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada
bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran
tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu. Dalam menjalankan fungsinya
mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika
bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa,
pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah,
hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga
tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan
maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.