Minggu, 01 Februari 2015

AMBIGUITAS DALAM PSIKOLINGUISTIK



  1. Jenis Ambiguitas
Ulmann (dalam Pateda, 2001:202; Djajasudarma, 1999: 54) membagi ambiguitas menjadi tiga tipe utama, yaitu ambiguitas tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.
1.      Ambiguitas tingkat fonetik
Ambiguitas tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan, kaang karena kata-kata yang membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga orang menjadi ragu akan makna kalimat yang diuarkan (Pateda, 2001: 202), seperti tampak pada contoh dalam bahasa Indonesia berikut:
(1)   Beruang /beruaN/ → ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’
(2)   /bukanaNka/ → bukan angka, buka nangka, bukan nangka
Ambiguitas tersebut berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena kita ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.
2.      Ambiguitas tingkat leksikal
Ambiguitas tingkat leksikal adalah macam ambiguitas yang disebabkan oleh bentuk leksikal yang dipakai (Dardjowidjojo, 2005: 76). Hal ini berkaitan dengan makna yang dikandung setiap kata yang dapat memiliki lebih dari satu makna atau mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai lingkungan pemakainya, sebagaimana tampak pada contoh berikut:
(3)   Ini bukunya.
(4)   Masing-masing mendapat satu kursi.
Pada kalimat (3) kata ‘buku’ dapat mengandung makna lebih dari satu, sehingga pada kalimat tersebut tidak jelas yang manakah makna ‘buku’ yang dimaksud. Begitu pula halnya pada kalimat (4) mengandung lebih dari satu makna dan pada kedua kalimat tersebut tidak ada kejelasan makna apa yang dimaksud.
3.      Ambiguitas tingkat gramatikal
Ambiguitas ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis (Djajasudarma, 1999: 55). Pada tataran morfologi ambiguitas muncul dalam pembentukan kata secara gramatikal, misalnya kata Pemukul (peN + pukul) yang bermakna ganda ‘orang yang memukul’ atau alat untuk memukul’.
Pada tataran sintaksis ambiguitas muncul pada frasa, klausa dan kalimat. Tiap kata yang membentuk frasa atau kalimat itu lebih jelas, tetapi dalam pengkombinasiannya dapat memiliki tafsiran lebih dari satu pengertian. Frasa orang tua dapat bermakna ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-bapak’. Gleason dan Ratner (1998, dalam Dardjowidjojo, 2005: 77) membagi ambiguitas gramatikal menjadi dua macam, yaitu:
a.      Ambiguitas sementara (local ambiguity) yaitu fungsi sintaktik suatu bentuk leksikal berstatus ambigu smapai pada suatu saat dimana kita memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari (disambiguate) ambiguitas itu.
b.      Ambiguitas abadi (standing ambiguity) yaitu kalimat yang tetap ambigu walaupun telah sampai pada kata terakhir.

  1. Ambiguitas dari Segi Neurologi dan Psikologi
Faktor neurologis merupakan faktor yang juga sangat penting dalam penguasaan bahasa. Proses bahasa ini dikendalikan oleh otak yang merupakan pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas manusia. Bagian otak manusia yang menangani fungsi bahasa disebut korteks selebral, yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan kanan. Kedua hemisfer ini dihubungkan oleh korpus kalosum yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikam kerja kedua hemisfer tersebut.
Pada mulanya, melalui berbagai penelitian dan tes yang dilakukan para ahli (Wada, Kimura, dll), dinyatakan bahwa hemisfer kiri bertanggungjawab dalam pengelolaan bahasa. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun turut bertanggungjawab dalam penggunaan bahasa walaupun tidak seintensif hemisfer kiri. Hal ini didapati pada orang-orang yang terganggu hemisfer kanannya, yaitu antara lain kemampuan mengurutkan peristiwa sebuah cerita menjadi kacau, kesukaran menarik inferensi, kesukaran memahami metafora atau sarkasme, dan tidak dapat memahami kalimat yang ambigu (lihat Dardjowidjojo, 2005: 212-213). Dari uraian tersebut tampak bahwa kesulitan mendeteksi kalimat yang ambigu dapat berkaitan dengan faktor neurologis, terutama hemisfer kanan. Pada kondisi otak yang normal (kedua hemisfer tidak mengalami kerusakan) ambiguitas berkaitan dengan kerja memori leksikal manusia. Angela D. Friederici (dari Max Planck Institute of Cognitive Neurosciance) menyatakan bahwa kalimat yang ambigu akan sulit diproses oleh orang yang memiliki kapasitas kera memori yang rendah.
Dari sudut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh komprehensi yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran. Pemahaman terhadap kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu, tetapi ternyata terkaan itu tidak benar sehingga harus mundur kembali untuk memproses ulang seluruh ini.

  1. Pemecahan masalah ambiguitas
Dalam berbagai macam ambiguitas manapun, yang memegang peranan sangat penting adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat menentukan makna yang dimaksud (lihat Dardowidjojo, 2005: 78; Chaer, 2003: 288) sehingga ambiguitas dapat dihilangkan. Konteks ini dapat berupa konteks situasi seperti contoh di atas, konteks kalimat pun dapat menghilangkan ambiguitas.
Misalnya, bila kalimat (5) diujarkan “Pada pemilihan anggota dewan masing-masing partai mendapat satu kursi” jelaslah acuan makna kursi dalam kalimat itu, yaitu kedudukan.
Pemberian penanda batas dapat pula menghindarkan ambiguitas, antara lain penanda batas:
1.      Leksikal, seperti pada contoh berikut:
(10) Guru baru datang
a. Guru baru itu datang
b. Guru itu baru datang
            2.   Unsur prosodi berupa jeda (dalam ragam lisan), sehingga klausa (10) menjadi:
                   c. Guru baru // datang
                   d. Guru // baru datang
            3.    Tanda baca (dalam ragam tulis), misalnya:
                    (12) Buku sejarah baru
                    a. Buku-sejarah baru (yang baru adalah buku sejarah)
                    b. Buku sejarah-baru (buku tentang sejarah baru)
            Ambiguitas pun dapat dihindarkan melalui kecermatan struktur gramatikal termasuk pula dengan memperhatikan fitur-fitur semantik kata (leksem), sebagai contoh, ambiguitas frasa dari C.A. Mess (dalam Chaer, 2003: 289):
                    (13) Lukisan Yusuf.
                    Struktur frasa tersebut memiliki interpretasi:
a.       Lukisan itu milik Yusuf
b.      Lukisan itu karya Yusuf
c.       Lukisan itu menampilkan wajah Yusuf
Interpretasi-interpretadi tersebut muncul karena fitur-fitur makna interen yang dimiliki leksem ‘Yusuf”, yaitu:
            ─ [+manusia] yang berpotensi [+pemilik] sehingga menimbulkan interpretasi (a)
            ─ [+pelaku] yang memunculkan interpretasi (b)
            ─ [+objek] yang memunculkan interpretasi (c)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar