Minggu, 01 Februari 2015

HAKIKAT MAKNA DAN PERUBAHAN MAKNA



2.1     Hakikat Makna
Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau  maknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu. Lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiiki tatanan dan hubungan tertentu, dan seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misalnya kata buaya dalam kalimat (1) berikut sudah terlepas dari konsep asal dan acuannya.
(1)      Dasar buaya ibunya sendiri ditipu.
Banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Contoh kata jatuh dalam kalimat berikut.
(2)      Adik jatuh dari sepeda.
(3)      Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
(4)      Dia jatuh cinta  pada adikku.
(5)      Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut.
Selanjutnya para pakar itu menyatakan pula bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Contoh pada kalimat berikut.
(6)      Sudah hampir pukul dua belas!
Apabila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang masih bertandang di asrama itu padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Lain maknanya apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang guru agama ditujukan kepada para santri pada siang hari. Makna kalimat itu yang diucapkan si ibu asrama tentu berarti ‘pengusiran’ secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh guru agama itu berarti ‘pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang Zuhur’. Kalimat itu mungkin akan bermakna lain lagi diucapkan oleh seorang karyawan kantor kepada temannya pada siang hari mungkin berarti ‘sebentar lagi waktu istirahat tiba’.

2.2  Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama atau tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
a.       Perkembangan dalam  bidang ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau bermakna C. Umpamanya, kata sastra pada mulanya bermakna tulisan, huruf, lalu berubah menjadi bermakna bacaan, kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif’. Perubahan makna kata sastra seperti yang kita sebutkan itu adalah karena perkembangannya atau berubahnya konsep tentang sastra itu di dalam ilmu susastra. Perkembangan dalam bidang teknologi juga menyebabkan terjadinya perubahan makna kata. Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu munculah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meski tenaga penggerak kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih tetap digunakan untuk menyebut perjalanan  di air itu.
b.      Perkembangan sosial budaya. Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan terjadi perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’. Tetapi kini, kata saudara digunakan untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial. Pada jaman feodal dulu, untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini, kata tuan yang berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak, yang terasa lebih demokratis. Conto lain, kata sarjana itu hanya bermakna ‘orang cerdik pandai’, tetapi kini kata sarjana dulu bermakna ‘orang yang telah lulus perguruan tinggi’. Dewasa ini betapa pun luas dan dalamnya ilmu seseorang, jika dia bukan lulusan perguruan tinggi tidaklah bisa disebut sarjana.
c.       Perkembangan pamakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang berkenaan dalam bidangnya itu. Umpamanya dalam bidang pertanian kita temukan kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen. Dalam bidang agama Islam ada kosakata seperti imam, khatib, puasa, zakat, dan subuh. Dalam bidang pelayaran ada kosakata seperti berlabuh, berlayar, haluan, nakhoda, dan buritan. Kosakata yang mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna baru atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Umpamanya, kata menggarap dari bidang pertanian digunakan juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skipsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu lintas. Kata membajak yang berasal dari kata pertanian juga sudah biasa digunakan dalam bidang lain dengan makna ‘mencari keuntungan yang besar secara tidak benar’, seperti dalam membakjak buku, membajak lagu, membajak pesawat terbang.
Pertukaran tanggapan indra. Alat indra kita yang lima memiliki fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas dan asin ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah. Gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan gejala terang dan gelap ditangkap oleh alat indra mata. Namun, dalam perkembangan pemakain bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia itu. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sengat pedas, kata manis yang seharusnya ditanggap dengan alat perasa lidah menjadi ditanggap menjadi alat indra mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar