Selasa, 03 Februari 2015

ANALISIS PUISI "KETIKA LANGIT DAN BUMI TAK LAGI TERBAYANGKAN" KARYA LEON AGUSTA



Ketika Langit dan Bumi tak Lagi Terbayangkan
Karya: Leon Agusta


Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu
Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan
Tapi barangkali ketika itu di suatu senja yang asing
Aku pernah punya wajah buat dikenal. Wajahku
Barangkali ketika itu aku hendak mengenangnya
Sebagai tanda dari perkenalan yang diterima
Sebagai tanda dari percintaan yang selesai buat mencipta
Atau barangkali pernah pula ada perkenalan yang lain
Namun segalanya jadi lupa. Tak lagi terpikirkan. Pula
Bagaimana aku kan tahu sekiranya masih ada saat dan ketika
Masih meniti nafas dalam kesendirian yang lemas indera
Bahkan maut pun tak tersapa dan cinta pun tiada bangkit
Cuma, ada perasaan kehilangan yang melaju. Melaju.
Kehilangan di daerah pengasingan. Terhantar di sini
Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan
Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan


Analisis Puisi
1.    Judul
Puisi berjudul  Ketika Langit dan Bumi tak Lagi Terbayangkan ini menggambarkan suatu keadaan yang dialami oleh penyair. Kata ‘ketika’ merupakan keterangan waktu yang menunjukkan keadaan yang terjadi. Kata ‘langit’ dan ‘bumi’menunjukkan tempat terjadinya. Bumilah penyebab segala yang terjadi. Frase /tak lagi terbayangkan/ mengandung makna akibat, artinya akibat dari segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi.  
Jadi arti keseluruhan judul puisi Ketika Langit dan Bumi tak Lagi Terbayangkanadalah jika manusia yang ada di muka bumi ini tak lagi bermoral dan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain, maka langit dan bumi tak terbayangkan apa yang akan terjadi nanti. Langit dan bumi tak lagi memiliki ungkapan, tak berwarna dan tak lagi bermakna bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya.Segala yang terjadi adalah ulah manusia itu sendiri. Ia lebih mementingkan kehidupan dunia dibandingkan kehidupan akhirat.
Judul dan isi puisi saling berhubungan. Penyair sengaja membuat judul puisi ini secara tersurat agar pembaca dengan mudah memahami isi yang terkandung dalam puisi tersebut. Jika sebuah puisi itu tidak memiliki judul, maka tidak akan ada ketertarikan seorang pembaca untuk membaca puisi. Namun, seandainya sebuah puisi itu tanpa judul puisi itu masih bisa memberikan kesan terhadap keseluruhan makna puisi tersebut. Mungkin alasan penyair karena tidak ingin menonjolkan sesuatu yang berlebihan mengenai isi puisi tersebut atau penyair hanya ingin mengungkapkan sesuatu tanpa perlu diberi judul.
Seorang yang ingin memahami sebuah puisi hal pertama yang dilakukan adalah memahami makna keseluruhan  puisi itu melalui judul, kemudian memahami isi. Pembaca juga harus teliti dalam memahami judul karena tidak semua judul itu tersurat namun ada pula  judul yang tersirat. Dengan melihat dan memahami judul kemungkinan gambaran keseluruhan makna atau keunikan sebuah puisi akan terbuka. 
2.    Kata Dominan
Dua kata dominan yang terdapat di dalam puisi ini adalah kata ‘aku’ dan kata ‘tak lagi’. Kedua kata ini digunakan beberapa kali di dalam puisi karya Leon Agusta tersebut. Kata ‘aku’ merupakan kata ganti untuk memperlihatkan atau menonjolkan diri sendiri. Kata ganti yang terdapat di dalam puisi digunakan untuk mengusut siapa yang ada dan siapa yang mengucapkan kalimat yang ada di dalam puisi tersebut. Dengan jelasnya siapa yang dimaksud kata ganti tersebut maka dengan lebih mudah puisi itu dipahami. Kata ganti adalah kata yang berfungsi menggantikan orang, benda, atau sesuatu yang dibendakan. Kata ganti dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu kata ganti orang, kata ganti petunjuk, kata ganti yang tidak menunjuk pada orang atau benda tertentu, kata ganti kepunyaan, dan kata ganti penghubung. 
Dalam puisi ini kata ‘aku’ menunjuk kepada penyair sedangkan, kata ‘tak lagi’ mengandung makna sama sekali dan betul-betul. Artinya dalam puisi inisama sekali tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika langit dan isi seluruh bumi tak lagi bersahabat, kehidupan tak lagi berwarna dan manusia tak lagi bermoral. Mungkin ini merupakan salah satu ciri-ciri akan datangnya hari akhir. Hari akhir yang akan menghancurkan seluruh isi bumi seperti kapas-kapas yang berterbangan.
Kata ‘aku’ di dalam puisi ini merupakan suasana keseluruhan dari puisi karya Leon Agusta. Ia ingin menggambarkan dirinya berada dalam puisi karena keseluruhan puisi itu merupakan gambaran hati, pikiran, dan perasaan yang sedang dialaminya.Ia menggambarkan dirinya di dalam puisi dengan menggunakan kata ‘aku’ tanpa menggunakan kata ganti lainnya, seperti ‘dia’, ‘kamu’, ‘kami’, dan ‘mereka’.  Jika ia menggunakan kata ‘dia’, maka ia bukan menggambarkan dirinya melainkan menggambarkan orang lain.
3.    Makna Konotatif
Makna konotasi adalah makna yang mengalami perubahan dari makna asalnya dan sering disebut sebagai makna kiasan. Makna konotatif  inilah yang membuat sebuah puisi terlihat menarik. Nilai estetika puisi itu pun sangat tinggi. Penggunaan kata bermakna konotatifmembuat pembaca penasaran dengan makna yang terkandung di dalam kata itu. Banyak kata bermakna konotatif yang dapat digunakan dalam membuat sebuah puisi. Tetapi tidak semua kata itu dapat digunakan, karena harus sesuai dengan isi  puisi yang dibuat. Penggunaan kata bermakna konotatif yang berlebihan juga tidak baik karena tidak semua orang mengerti dengan makna kata tersebut. Hal itu akan menyebabkan pembaca menjadi bingung dengan puisi yang ia baca kemudian tidak ada lagi ketertarikan untuk membaca puisi tersebut.
Kata bermakna konotatif  yang terdapat di dalam puisi ini  adalah /maut pun tak tersapa/ dan /cinta pun tiada bangkit/. Berdasarkan logika dan makna harfiah ungkapan di dalam puisi tersebut tidak relevan. Namun, dengan adanya makna konotatif  ini sebuah puisi akan terlihat dan terdengar indah karena penyair membuat pembaca menjadi penasaran tentang makna apa yang terkandung dalam kata itu. Seperti /maut pun tak tersapa/ jika kita pahami tidak mungkin maut berhubungan dengan kata tersapa yang mana kata tersapa ini biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, jadi artinya maut tak dihiraukan. Penyair tidak menghiraukan jika suatu saat maut menjemputnya karena kematian adalah kehendak Tuhan. Kemudian /cinta pun tiada bangkit/, kata’ bangkit’ mengandung arti hidup. Yang dimaksud hidup adalah cinta itu. Cinta merupakan ungkapan dari dalam isi hati seseorang. Jadi makna keseluruhan dari kata /cinta pun tiada bangkit/ adalah cinta itu tidak ada lagi karena cinta itu sudah mati dan tidak akan hidup kembali. Penyair tidak lagi memikirkan mati dan cinta karena ia merasa hidup sendiri di dunia ini. Ia merasa diasingkan dan ia hanya ingin mengenang segala yang terjadi. Ia ingin berdiri sendiri di daerah pengasingan.
 4.    Makna yang Terungkap
Orang yang berbicara dalam puisi itu adalah penyair itu sendiri. Ia berbicara tentang sesuatu yang dialaminya. Ini terlihat pada larik /Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu / /Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan/ /Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan/ /Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan/. Leon Agusta secara jelas menuliskan larik tersebut agar pembaca dapat mengerti tanpa harus mencari makna tersirat lainnya. Makna pada larik tersebut mudah dipahami apabila pembaca dengan benar memahaminya.  Makna tersebut ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman seorang penikmat puisi.
Dengan melihat larik tersebut kita tahu bahwa puisi itu berbicara tentang keadaan yang terjadi di bumi. Semua karena ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Tak terbayangkan lagi jika langit dan bumi tak lagi punya warna atau ungkapan. Tak terbayangkan pula jika manusia tak lagi bermoral.
Melalui puisinya ini, Leon Agusta memberikan peringatan dan gambaran kepada manusia tentang sesuatu yang terjadi di langit dan bumi. Leon menginginkan manusia segera berubah dan memperbaiki semua yang terjadi menjadi lebih baik sebelum semuanya berubah. Segala sesuatu tak lagi terbayangkan. Kehidupan terus berputar, manusia yang tinggal di bumi pasti bisa merubahnya.
Melalui puisi Leon Agusta ini kita dapat belajar tentang kehidupan. Kita tahu bahwa tidak selamanya bumi akan tetap utuh. Roda kehidupan akan terus berputar. Manusia yang tinggal di muka bumi ini akan semakin pintar terbukti dengan berbagai macam teknologi yang bisa kita lihat dimana-mana. Namun, manusia itu sendirilah yang akan menghancurkan bumi ini.
Semua yang terjadi bisa diatasi jika manusia ada kemauan untuk berubah dan tetap menjaga langit dan bumi ini sampai generasi berikutnya.
5.    Parafrase
Parafrase puisi ini adalah: Ia tak mengerti pada wajah yang dikenangnya, tanda perkenalan, tanda percintaan, semua jadi lupa, dalam kesendirian, maut tak tersapa, cinta telah mati, perasaan hilang di daerah pengasingan, tak lagi punya warna dan ungkapan, langit dan bumi tak lagi terbayangkan.

1 komentar: