2.1 Suku Bangsa Jawa
Suku bangsa
Jawa adalah suku bangsa yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah dan timur, serta
daerah-daerah yang disebut kejawen sebelum terjadi perubahan seperti sekarang
ini. Daerah itu ialah Banyumas, Kedu,
Yogyakarta , Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sedangkan daerah di luar ini dinamakan pesisir
dan ujung timur. Daerah yang merupakan
pusat kebudayaan Jawa adalah dua daerah yang luas bekas Kerajaan Mataram, yaitu
Yogyakarta dan Surakarta yang terpecah pada tahun 1755. Dari sekian banyak daerah tempat kediaman
orang Jawa, terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat
lokal dalam beberapa unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai
istilah teknis, dialek bahasa, dan lain-lain. Namun tidak menunjukkan perbedaan yang besar,
sebab masih menunjukkan satu pola atau sistem kebudayaan Jawa.
Bahasa pergaulan hidup sehari-hari adalah
bahasa Jawa. Dalam berbicara menggunakan
bahasa Jawa, harus memperhatikan dan membedakan tingkatan orang yang diajak
berbicara, berdasarkan umur dan status sosialnya. Dalam susunannya, Bahasa Jawa ada dua macam,
yaitu:
1. Bahasa Jawa Ngoko, terdiri atas:
a. Bahasa Jawa Ngoko Lugu atau Ngoko biasa.
b. Bahasa Jawa Ngoko Andap, bahasa ini.
2. Bahasa Jawa Krama, terdiri atas:
a. Madya Ngoko, biasanya dipakai dalam percakapan kesederhanaan di pedesaan.
b. Krama Madya, bahasa ini dipakai untuk percakapan orang-orang di pedesaan.
c. Madyantara, yaitu bahasa yang dipakai untuk percakapan di kalangan priayi.
d. Kramantara, bahasa yang dipakai dalam pembicaraan antara orang tua.
e. Wredhakrama, yaitu bahasa untuk percakapan antara orang tua kepada orang muda.
f. Mudhakrama, yaitu bahasa untuk percakapan antara orang muda dan orang tua.
g. Krama Inggil, yaitu bahasa yang digunakan dalam percakapan di keraton antara
priyagung keraton dalam bercakap-cakap.
h. Krama Desa, yaitu bahasa yang bukan bahasa halus.
a. Bahasa Jawa Ngoko Lugu atau Ngoko biasa.
b. Bahasa Jawa Ngoko Andap, bahasa ini.
2. Bahasa Jawa Krama, terdiri atas:
a. Madya Ngoko, biasanya dipakai dalam percakapan kesederhanaan di pedesaan.
b. Krama Madya, bahasa ini dipakai untuk percakapan orang-orang di pedesaan.
c. Madyantara, yaitu bahasa yang dipakai untuk percakapan di kalangan priayi.
d. Kramantara, bahasa yang dipakai dalam pembicaraan antara orang tua.
e. Wredhakrama, yaitu bahasa untuk percakapan antara orang tua kepada orang muda.
f. Mudhakrama, yaitu bahasa untuk percakapan antara orang muda dan orang tua.
g. Krama Inggil, yaitu bahasa yang digunakan dalam percakapan di keraton antara
priyagung keraton dalam bercakap-cakap.
h. Krama Desa, yaitu bahasa yang bukan bahasa halus.
2.2 Kebudayaan
Jawa Tengah
Manusia dan kebudayaan
merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada
kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa
lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan
kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari
satu turunan. Jadi, harus diteruskan
kepada anak cucu keturunan selanjutnya.
Kebudayaan Jawa klasik
yang keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah
warisan sejarah yang berupa Candi, Stupa, Bahasa, Sastra, Kesenian dan Adat Istiadat.
Candi Borobudur di dekat Magelang, candi
Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi Dieng, candi
Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak
ternilai harganya. Teks-teks sastra yang
terpahat di batu-batu prasasti, tergores di daun lontar dan tertulis di
kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga kini tidak
habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada
pula warisan kebudayaan yang bermutu tinggi dalam wujud seni tari, seni musik,
seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan, seni busana, adat istiadat, dsbnya.
Masyarakat Jawa Tengah
sebagai ahli waris kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau
sewarna, melainkan sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman
budaya. Hal itu tercermin pada tumbuhnya
wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya
Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran.
2.3 Tarian Daerah Jawa Tengah
Disamping mempuyai banyak kebudayaan dan tradiasi, daerah jawa tengah juga memiliki berbagai seni tari. Tarian-tarian yang ada di daerah Jawa Tengah sudah banyak dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia. Tarian-tarian yang ada berasal dari Jawa Tengah di antaranya:
Disamping mempuyai banyak kebudayaan dan tradiasi, daerah jawa tengah juga memiliki berbagai seni tari. Tarian-tarian yang ada di daerah Jawa Tengah sudah banyak dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia. Tarian-tarian yang ada berasal dari Jawa Tengah di antaranya:
1. Tarian Serimpi
Tarian Serimpi Sangopati
karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya Pakubuwono IV yang
memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi
Sangopati kata Sangapati itu sendiri berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan
bagi calon pengganti raja. Ketika Pakubuwono IX memerintah kraton Surakarta
Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah nama Sangapati
menjadi Sangupati.
Hal ini dilakukan
berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan beliau yaitu
pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada Pakubuwono IX agar mau menyerahkan
tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda. Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut
Pakubuwono IX menjamu para tamu Belanda dengan pertunjukan tarian Srimpi
Sangopati. Sesungguhnya sajian tarian Srimpi tersebut tidak hanya dijadikan
sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut
dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu
berarti bekal untuk mati. Oleh sebab itu, pistol-pistol yang dipakai untuk
menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan
apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka, ini tampak jelas dalam pemakaian
“sampir” warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan. Pakubuwono IX terkenal sebagai raja amat
berani dalam menentang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah
Indonesia ketika itu.
2.
Tarian Bambangan cakil
Makna yang menyelubungi Tari Bambangan
Cakil hanya bisa dicari dengan tidak melepaskan kisah awal yang dijadikan
sumber acuan tarian tersebut, yaitu perang kembangan. Tari Bambangan Cakil ditampilkan mengikuti
struktur tari Wireng pada umumnya, yaitu Maju Beksan, Beksan Laras, Beksan
Perang, Perang Ruket, dan Mundur Beksan.
Kedua ialah Tari Bambangan Cakil yang disajikan dalam bentuk petilan
Perang Kembang yang diambil dari penyajian wayang orang. Tari Bambangan Cakil diawali adegan cakil dan
raksasa yang menari dengan gaya masing-masing.
Pada bentuk ketiga dengan pola gerak perang hingga Cakil mati. Tarian itu terkandung makna filosofis bahwa
yang benar pasti menang. Tarian itu
memiliki makna yang dalam, yaitu kebenaran akan selalu menang.
3.
Tari Gambyong
Konon Tari Gambyong
tercipta berdasarkan nama seorang penari jalanan yang bernama si Gambyong yang
hidup pada zaman Sinuhun Paku Buwono IV di Surakarta (1788-1820). Sosok penari ini dikenal sebagai seorang yang
cantik jelita dan memiliki tarian yang cukup indah. Tak heran, dia terkenal di seantero Surakarta
dan terciptalah nama Tari Gambyong. Tarian
ini merupakan sejenis tarian pergaulan di masyarakat. Ciri khas pertunjukan Tari Gambyong, sebelum
dimulai selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si
penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang. Sebab, kendang itu biasa disebut otot tarian
dan pemandu gendhing.
Pada zaman Surakarta,
instrumen pengiring tarian jalanan dilengkapi dengan bonang dan gong. Gamelan yang dipakai biasanya meliputi gender,
penerus gender, kendang, kenong, kempul, dan gong. Semua instrumen itu dibawa ke mana-mana dengan
cara dipikul. Umum dikenal di kalangan penabuh instrumen Tari Gambyong,
memainkan kendang bukanlah sesuatu yang mudah. Pengendang harus mampu tumbuh dengan keluwesan
tarian serta mampu berpadu dengan irama gendhing. Maka tak heran, sering terjadi seorang penari
Gambyong tidak bisa dipisahkan dengan pengendang yang selalu mengiringinya. Begitu juga sebaliknya, seorang pengendang
yang telah tahu lagak-lagu si penari Gambyong akan mudah melakukan harmonisasi.
4. Tari Aplang
Tari Amplang
merupakan tarian tradisional yang berasal dari Kabupaten Banjarnegara. Dahulu Tari Aplang digunakan untuk syiar
Agama Islam. Aplang berasal dari kata
ndaplang yang berarti tangan digunakan seperti gerakan silat. Tarian ini ditarikan oleh remaja
putra-putri dengan diiringi rebana,
bedug, kendang dan nyanyian
syair salawatan. Kostumnya model Islam
Jawa yang indah dipandang mata.
Kembali ke Jatidiri Bangsa Kabupaten Banjarnegara.
5.
Singo Barong
Kesenian ini merupakan kesenian tradisional
asli rakyat Demak, yang dilatar
belakangi sejarah Demak. Hutan Glagah
Wangi akan dijadikan pemukiman, namun Sang
Penunggu yang merupakan sosok gaib Singo Barong Kembar tidak mau
menerimanya. Dengan kesaktian “Cemeti
Saptomowo” siluman Singo Barong dapat ditaklukkan. Prajurit dengan kostum surjan menaiki Kuda
Kepang warna-warni yang indah.
6.
Tari Gondoriyo
Perpaduan antara
tari, teater dan gerak akrobatik.
Ceritera diambil dari babad panji yaitu kisah cinta Raden Panji
Asmarabangun adri Jenggala yang mempersunting Dewi Sekartaji dari Kediri. Untuk dapat mempersunting putri tersebut
Raden Panji harus dapat mempersembahkan seekor singo barong yang dapat
berbicara. Joko Lodro utusan Raden
Panji dapat menangkap Singa Lodro di hutan Lodaya.
7.
Tari Loro Blonyo
Tari Loro Blonyo
merupakan gambaran Dewi Sri dan saudaranya Dewa Sadana. Dewi Sri adalah Dewi pelindung padi dan
pemberi berkah serta merupakan lambang kemakmuran. Dewa Sadana adalah Dewa sandang
pangan. Pada saat sekarang, kedua dewa
dan dewi tersebut sudah sirna dari bumi pertiwi dan menetap di Tirta
Kedasar. Sepeninggal mereka keadaan
bumi pertiwi makin terpuruk. Bencana,
malapetaka serta huru-hara terjadi di mana-mana. Atas petunjuk Dewa Wisnu agar keadaan
kembali aman tenteram maka kedua dewa dewi tersebut harus dikembalikan. Hal tersebut tidak mudah karena untuk
mendapatkan mereka harus berhadapan dulu dengan raksasa penunggu negara Tirta
Kedasar. Semar akhirnya bisa membawa
kembali mereka dan bumi pertiwi kembali pulih. Untuk mensyukuri keberhasilan tersebut
dibunyikan kothekan lesung yang berirama magis. Tepuk tangan buat Karanganyar.
8.
Tari Kretek
Tari Kretek diilhami akar kesejahteraan yang
sampai kini dirasakan di Kabupaten Kudus. Beberapa penari ayu memakai kain kebaya,
selendang bergaris hitam dengan topi lebar sedang membawa tampah tempat
tembakau. Tarian menggambarkan
kegiatan membuat rokok.
9. Tari Warak Dugder
Mengiringi Patung warak sekelompok gadis
berpakaian Encim putih biru melenggang lenggok dengan manisnya. Asal kata Dug Der adalah suara bedug Dug Dug
dan suara merian Dher. Campuran budaya
Islam, Jawa dan Cina melatar belakangi
seni ini.
10.
Tari Kuntulan
Tari Kentulan adalah
gerak pencak silat yang diwujudkan dalam tarian. Semangat penari membangkitkan gelora
semangat penonton.
2.4 Makanan
Khas Jawa Tengah
Berbagai
macam makanan khas yang berasal dari daerah Jawa tengah. Setiap kota yang
berada di Jawa Tengah mempunyai makanan khas masing-masing, diantaranya
yaitu:
1.
Jepara
makanan khasnya adalah Pindang Serani, Soto Jepara, Madu Mongso, Adon-adon
Coro, Es
Gempol, Horok-Horok, Rondo
Royal, Sate
Kikil, Klenyem,Kuluban,
pecel ikan laut
bakar dengan Sambal Santan
Kelapa, sate Udang, Terasi
Jepara, Tempong Ikan Teri, Durian
Petruk, Jeruk
Jepara, Kacang
Oven, dan Kacang Jepara.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar