2.1
Hakikat
Makna
Semantik yang semula
berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau maknai.
Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”.
Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan
bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna
dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya
menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna
menduduki tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan
kenyataan bahwa bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu
pada adanya lambang-lambang tertentu. Lambang-lambang merupakan seperangkat
sistem yang memiiki tatanan dan hubungan tertentu, dan seperangkat lambang yang
memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.
Di dalam penggunaannya
dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin
juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari
acuannya. Misalnya kata buaya dalam
kalimat (1) berikut sudah terlepas dari konsep asal dan acuannya.
(1) Dasar
buaya ibunya sendiri ditipu.
Banyak pakar mengatakan
bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Contoh kata jatuh dalam kalimat berikut.
(2) Adik
jatuh dari sepeda.
(3) Dia
jatuh dalam ujian yang lalu.
(4) Dia
jatuh cinta pada adikku.
(5) Kalau
harganya jatuh lagi kita akan
bangkrut.
Selanjutnya para pakar
itu menyatakan pula bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat
itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Contoh pada kalimat berikut.
(6) Sudah
hampir pukul dua belas!
Apabila diucapkan oleh
seorang ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang masih bertandang di
asrama itu padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Lain
maknanya apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang guru agama ditujukan kepada
para santri pada siang hari. Makna kalimat itu yang diucapkan si ibu asrama
tentu berarti ‘pengusiran’ secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh guru
agama itu berarti ‘pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang
Zuhur’. Kalimat itu mungkin akan bermakna lain lagi diucapkan oleh seorang
karyawan kantor kepada temannya pada siang hari mungkin berarti ‘sebentar lagi
waktu istirahat tiba’.
2.2 Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya,
dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama atau tidak
berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata
akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang
terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja,
yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
a. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi. Adanya
perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang
pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau bermakna C. Umpamanya, kata sastra pada mulanya bermakna tulisan,
huruf, lalu berubah menjadi bermakna bacaan, kemudian berubah lagi menjadi
bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya,
berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif’.
Perubahan makna kata sastra seperti
yang kita sebutkan itu adalah karena perkembangannya atau berubahnya konsep
tentang sastra itu di dalam ilmu susastra. Perkembangan dalam bidang teknologi
juga menyebabkan terjadinya perubahan makna kata. Misalnya, dulu kapal-kapal
menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu munculah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan
perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meski
tenaga penggerak kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin
turbo, tetapi kata berlayar masih
tetap digunakan untuk menyebut perjalanan
di air itu.
b. Perkembangan sosial budaya. Perkembangan
dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan
terjadi perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada mulanya berarti
‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’. Tetapi kini, kata saudara digunakan untuk menyebut orang
lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat baik usia maupun
kedudukan sosial. Pada jaman feodal dulu, untuk menyebut orang lain yang
dihormati, digunakan kata tuan. Kini,
kata tuan yang berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak, yang terasa lebih demokratis. Conto lain, kata sarjana itu hanya bermakna ‘orang cerdik
pandai’, tetapi kini kata sarjana
dulu bermakna ‘orang yang telah lulus perguruan tinggi’. Dewasa ini betapa pun
luas dan dalamnya ilmu seseorang, jika dia bukan lulusan perguruan tinggi
tidaklah bisa disebut sarjana.
c. Perkembangan pamakaian kata. Setiap
bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang
berkenaan dalam bidangnya itu. Umpamanya dalam
bidang pertanian kita temukan kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen. Dalam bidang agama Islam ada kosakata seperti imam, khatib, puasa, zakat, dan subuh. Dalam bidang pelayaran ada
kosakata seperti berlabuh, berlayar, haluan,
nakhoda, dan buritan. Kosakata
yang mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan
kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna baru atau agak
lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Umpamanya, kata menggarap dari bidang pertanian
digunakan juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti
dalam menggarap skipsi, menggarap naskah
drama, dan menggarap rancangan
undang-undang lalu lintas. Kata membajak
yang berasal dari kata pertanian juga sudah biasa digunakan dalam bidang lain
dengan makna ‘mencari keuntungan yang besar secara tidak benar’, seperti dalam membakjak buku, membajak lagu, membajak
pesawat terbang.
Pertukaran tanggapan indra. Alat indra kita yang
lima memiliki fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi
di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas dan
asin ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah. Gejala yang berkenaan
dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan gejala terang
dan gelap ditangkap oleh alat indra mata. Namun, dalam perkembangan pemakain
bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala
yang terjadi di sekitar manusia itu. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya
ditangkap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar
telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya
sengat pedas, kata manis yang
seharusnya ditanggap dengan alat perasa lidah menjadi ditanggap menjadi alat
indra mata, seperti dalam ujaran bentuknya
sangat manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar