1 Fabel
Fabel diambil dari bahasa Belanda adalah cerita
yang menggunakan hewan sebagai tokoh utama. Misalnya contoh cerita Anak Pipit
dan Kera di bawah ini. Banyak sastrawan dan penulis dunia yang juga
memanfaatkan bentuk fabel dalam bentuk karangannya. Salah seorang pengarang
fabel yang terkenal dalah Michael De La Fontaine dari Prancis, selain itu
banyak juga pengarang fabel yang lain. Biasanya pada sebuah fabel tersirat
moral atau makna yang lebih mendalam. Berikut ini adalah salah satu contoh
cerita fabel yang berasal dari Kalimantan.
Anak Pipit dan Kera
Tersebutlah
seekor kera yang tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu
ditinggalkan kawan-kawannya karena ia sombong
dan mementingkan diri sendiri. Dia menganggap pohon tempat tinggalnya itu
miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan tinggal di sana. Tepian mandi
itu pun dianggap miliknya.
Ada seekor itik yang selalu
pergi ke tepian itu. Dia senang mandi sepuas-puasnya di tepian itu setelah
selesai mencari makan dan kenyang perutnya.
Pada mulanya, kera membiarkan
itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di tepian menjadi
keruh setiap itik itu selesai dia pun marah.
“Cis tak tahu malu, mandi di
tepian orang lain!” maki kera kepada itik yang baru saja selesai mandi.
“Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang
lebar). Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti
kajang sebidang (selembar atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi
satu! Enyahlah kau, itik jelek!”
Itik malu dan sakit hati
dicemooh seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi. Akan
tetapi, dia takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan
menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya.
Seekor induk pipit yang sedang
memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia melongokkan kepala dari
sarangnya yang tinggi di atas pohon.
“Hai itik yang baik, mengapa
engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa sebabnya. Mungkin aku
dapat menolongmu!”
“Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis!” Itik itu menangis kembali seperti tadi.
“Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya?”
“Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis!” Itik itu menangis kembali seperti tadi.
“Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya?”
Itik menceritakan kembali
semua caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik, induk pipit
segera berkata, “Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana
dan mandilah sepuasmu!”
“Aku takut! Aku malu dimaki
kera itu lagi!”
“Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya!” Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan
kera.
“Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti!” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan nasihat induk pipit.
“Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
“Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.
“Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya!” Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan
kera.
“Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti!” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan nasihat induk pipit.
“Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
“Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.
Itik pura-pura tidak mendengar
jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Setelah puas,
barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah.
Seperti kemarin, kera kembali
mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan. Setelah kera puas
mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, “Apakah engkau
merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi
bulu-bulu kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang
tumbuh di hutan) dilumu (dimasukkan ke mulut sambil diambil
sarinya hingga tersisa biji dan ampasnya). Telapak tanganmu hitam kotor!
Kuku-kukumu ….”
Belum selesai itik membalas
caciannya, kera itu segera memotong, “Lancang sekali mulutmu! Tentu ada
binatang lain yang memberi tahu kepada kamu!”
“Tentu saja, hai kera angkuh! Tidak jauh dari sini seekor
induk pipit membuat sarang. Dialah yang mengajariku!”
“Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”
“Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”
Itik bergegas pulang ke
Tumahnya. Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera sombong itu.
“Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit dengan kesai. “Seharusnya tidak
kau sebutkan siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau
pun tolol!”
Belum sempat induk pipit
bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan langsung
menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak
pipit tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri.
Dengan kejengkelan luar biasa
kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit diacak-acaknya.
Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang
untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya.
Anak pipit sedih berada dalam
kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut anak pipit itu
terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya
dijawab kera dengan gumaman.
“Apakah Ibuku sudah datang?”
“Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
“Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Dia merasa tertipu. Apalagi
anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada
kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena
ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.
Kera marah bukan main. Akal
sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu
bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak
henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu
jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong
itu.
Cerita diatas merupakan salah satu contoh fabel.
Cerita tersebut adalah sebuah cerita hewan. Cerita fabel itu berasal dari
Kalimantan yang ceritanya tentang seekor anak
burung pipit dan monyet. Di cerita tersebut di ceritakan tentang seekor monyet yang sombong. Monyet
itu menganggap semuanya adalah miliknya dan tak ada seekor hewan pun yang boleh
mengganggu atau mengusik tempatnya. Suatu hari seekor monyet itu marah kepada
seekor burung pipit karena burung tersebut telah mengejaknya. Monyet tu menemui
dan merusak sarang burung pipit. Induk burung pipit dapat kabur tetapi dia
tidak sempat menyelamatkan anaknya dan kemudia monyet tersebut mengambil anak pipit
tersebut. Akhir cerita tersebut yaitu monyet yang sombong dan angkuh itu mati.
suka banget baca cerita seperti ini deh
BalasHapusdownload alfastamp app